Suku Cantik Leher Panjang

“Dengan melilitkan rantai di leher menunjukan kecantikan dan identitas suku mereka”

Mencapai Chiang Rai tidaklah sulit, hanya berjarak 3,5 jam dari Chiang Mai. Melewati jalan pegunungan yang berkelok. Saat musim dingin (November-Februari), suhu di Ciang Rai bisa mencapai kurang dari 10 derajat. Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi Chiang Rai dengan target untuk melihat langsung suku leher panjang. Rasa penasaran untuk mengujungi suku itu timbul setelah saya melihat tayangan di Chanel Televisi National Geogarphic mengenai sebuah suku yang mempunyai tradisi melilitkan gelang besi di leher hingga leher terlihat memanjang dan tradisi tersebut merupakan simbol kecantikan mereka.

Untuk mengunjungi suku long neck karen, saya harus mengikuti paket tur satu hari penuh yang jadwalnya mengunjungi empat tujuan wisata ternama sekaligus. Tur dimulai Pagi hari, setelah dua jam perjalanan tiba lah saya di lokasi pertama yaitu Hot Spring atau Sumur Air Panas. Sumur yang lebarnya hanya dua meter ini terletak di tepi sungai yang airnya sejuk. Selain sumur utama, juga terdapat banyak smur kecil yang airnya juga mengepulkan asap panas. panasnya air di sumur ini dapat mematangkan telur hanya dalam beberapa menit. disini banyak terdapat pedagang yang menjajakan telur ayam dan telur puyuh hasil dari rebusan sumur air panas ini. Setelah kenyang memeakan telur rabus masakan Hot Spring, tur berlanjut dengan mengunjungi White Temple.

Berbeda dengan wat yang ada di Thailand, yang dominan kuning emas. Bangunan megah ini didominasi warna putih, interiornya juga ditata serba putih dengan sentuhan arsitek dan seni tradisional khas Thailand. Saat ini White Temple menjadi salah satu tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan wisatawan asing. karena kecantikannya, kuil itu menjadi land mark kota dan merupakan satu-satunya kuil yang terletak di kota Chiang Rai,

Dari White Temple perjalanan dilanjutkan keperbatasan tiga negara (laos, Myanmar dan Thailand) yang lebih dikenal dengan sebutan golden triangle. dulu kawasan ini dikenal dengan pusat opium atau candu dunia. Disini kita bisa menyebrang ke Laos dan Myanmar, tetapi terbatas hanya di desa perbatasan saja.

Setelah menapaki kaki di perbatasan tiga negara, tur akhirnya ditutup dengan mengunjungi suku long neck karen. Saya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan mereka. Komunitas suku long neck tidak hanya satu, melainkan banyak. Salah satu yang kami kunjungi hari itu adalah suku Karen. Setelah menyusuri jalan kecil akhirnya tampak juga gubuk-gubuk rumah desa suku Karen. Di dalam gubuk, beberapa perempuan muda terihat sibuk membuat anyaman kain dan berbagai souvenir untuk dijual. Anak-anak kecil terlihat asyik bermain.

Menurut sejarah, di akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990an suku long neck yang merupakan asli orang burma hijrah ke perbatasan Thailand dan menetap di Mae Hong Son, karena adanya konflik regim militer yang saat itu berlangsung di Burma, saat ini kita lebih mengenal Burma dengan sebutan Myanmar.

Wanita suku long neck Karen mulai melilitkan rantai di leher sejak merka brusia 5 tahun, kononberat kalung itu bisa mencapai 5 kilogram. Bukan tanpa alasan para perempuan suku Karen melilitkan rantai yang berat itu di leher mereka. bagi mereka, dengan melilitkan rantai di leher menunjukan kecantikan dan identitas suku mereka.

Saya sempat penasaran apa benar leher mereka mamanjang?. Ternyata leher yang terlihat memanjang itu sebenarnya hanyalah ilusi mata saja, karena leher mereka tidak memanjang, tetapi tulang pundak mereka yang menurun akibat tekanan gelang leher yang bertambah satu setiap tahunnya. Semakin dewasa seseorang, maka lilitannya rantai di lehernya semakin banyak. Maka tak heran jika melihat wanita suku Karen yang sudah berumur, ringnya semakin banyak dan lehernya semakin terlihat memanjang.

Saya cukup penasaran, bagaimana rasanya memakai gelang di leher. Yang pasti tidak nyaman karena seperti yang saya lihat, gerakan mereka menjadi terbatas. Untuk menoleh saja sangat susah, bahkan ada yang menyelipkan kain diantara gulungan tembaga kuning itu karena kulit lehernya sudah mulai lecet. Untuk mengusir rasa penasaran, saya meminta pemandu untuk memakaikan gelang leher yang sudah disiapkan khusus untuk turis. Berbeda dengan pemakaian cara tradisional suku long neck, dimana gelang harus dililitkan di leher. Untuk turis gelang leher hanya terlihat terlilit di depan, sedangkan dibelakangnya sudah ada tali untuk diikat dan dipasangkan ke leher. Meskipun cara memakainya sudah lebih mudah, tetap saja saya merasa sangat kesulitan untuk menggerakan leher. Selain gerakan terbatas ternyata gelangnya juga sangat berat. Takbisa saya bayangkan bagaimana rsanya orang-orang suku long neck ini mengenakan gelang dileher dalam menjalankan berbagai aktivitas di kehidupan sehari-harinya.

Sesaat terlintas di benak saya, tidakkah mereka merasa tereksploitasi dengan kunjungan turis ini kesuku mereka? pertanyaan itupun saya lontarkan kepada pemandu wisata saya Kun. dan Kun pun bertanya kepada salah satu perumpuan suku long neck dengan menggunakan bahasa mereka. Lalu menjelaskan kepada saya “mungkin banyak turis yang berfikir seperti itu, tetapi pada kenyataanya mereka tidak mersa di eksploitasi, meskipun beberapa dari mereka ada yang sudah meninggalkan tradisi mengenakan gelang di leher. Mereka senang menjadi pusat perhatian para turis, dan uang yang didapat mereka gunakan untuk menghidupi suku mereka”.

Perjuangan perempuan suku Karen dalam mempertahankan tradisi di tengah moderenisasi saat in, membuat saya kagum. Pertemuan yang singkat dengan suku Karen membuat saya lebih menghargai kebudayaan setiap suku dan istilah menjadi cantik itu menyakitkan, mungkin tidak berlebihan.

CHIC 102, 16-30 Nov 2011